Total Tayangan Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

Download Materi Tarbiyah .chm

Kepada para murabbi' silahkan diunduh klik ini

Mengapa Enggan Membina?


Pagi – pagi, enaknya berbicara tentang lika – liku jalan ini. Yang menurut para Murobbi kharakteristiknya banyak tantangannya,
jalannya panjang, dan sebagainya. Dan itu memang benar adanya. Walaupun memang yang kami rasakan belum se dahsyat yang dirasakan oleh dakwahnya Nabi dan sahabat, atau dakwahnya para Muassis dakwah ini. Namun kami merasakan bahwa memang begitu berat, dan kalau sudah begini, tinggal dua pilihannya. Tetap membersamainya, atau keluar dari perahu ini. Dan Alhamdulillah, berkat do’a dari para saudara kami, keistiqomahan dalam jalan ini semoga senantiasa membersamai kami, sampai nanti, sampai mati.
Tulisan ini sebenarnya muncul, karena berawal dari kegelisahan para ‘sesepuh kampus’, dalam sebuah forum, yang menyimpulkan bahwa tidak adanya kerapian sistem pembinaan kampus, terutama ikhwan, sehingga memuncukan beberapa pertanyaan penting yang menjadi pokok bahasan pada artikel ini. Salah satunya adalah pewarisan generasi. Pewarisan generasi menjadi sangat penting, namun sepertinya itu menjadi momok bagi sebagian kader, terutama mereka, para tokoh2 kampus, angkatan 2007 kebawah, yang sampai saat ini belum memiliki kepedulian terhadap pembinaan. Membina. Meliqo’i.
Ketika membicarakan dakwah, pasti tak akan lepas dari aspek kaderisasi. Kaderisasi adalah jantungnya dakwah. Dan ketika saya searching di Google, ada artikel menarik tentang masalah para kader, dimanapun itu, yang masih mengesampingan aspek kaderisasi ini. Ya, kader yang masih enggan membina. Atau kader yang risih membina. Sepertinya itu menjadi masalah internal yang mendesak untuk segera diselesaikan. Tak terkecuali dengan di Kampus Konservasi ini. Materi – materi tentang pentingnya kaderisasi sudah sering disampaikan, baik dalam forum liqo, tatsqif, dauroh – dauroh, maupun workshop yang sering diadakan dikampus ini, tetapi follow up kita masih berjalan ditempat. Tersendat. Ada dauroh Murabbi, Workshop Murabbi, madrasah Murabbi, belum lagi ada Separator, dan masih banyak lagi wajihah yang seharusnya bisa kita optimalkan sebagai ladang kaderisasi kita. Tapi, why? Kenapa masih saja, ada yang masih ada kader yang belum membina? Apanya yang salah? Apakah belum dapat materi tentang urgensi membina? Atau apa? Apakah yang salah konsep pembinaannya, ataukah dari internal kader sendiri yang belum beres pola berfikirnya?
Ada beberapa paragraf tulisan yang saya kutip dari blog teman di jogja, tentang pentingnya membina, setidaknya mengingatkan kita tentang materi ini. Bahwa sesungguhnya, membina atau menjadi murobbi dalam sebuah halaqoh (kelompok pengajian), merupakan metode dakwah fardiyahyang sangat konkret dalam pembentukan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islami) pada masyarakat. Dengan begitu langkah Islam. Inilah konsep tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam), yang mana untuk menuju daulah islamiyah (negara Islam) diperlukan capaian masyarakat Islami, keluarga Islami, dan pribadi yang Islami. Akan tetapi rantai tarbiyah ini akan terputus manakala tidak ada upaya berkesinambungan dalam pembinaan. Boleh jadi pribadi yang Islami telah tercapai, namun jika pribadi ini tidak “menularkan” ilmu atau kepemahamannya kepada yang lain, maka rasanya sulit mewujudkan cita-cita jayanya Islam di Bumi ini.
Mengingat begitu pentingnya peran murobbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita mempersiapkan diri untuk membina, menjadi murobbi. Dalam lingkup pribadi, menjadi mad’u dan murobbi adalah sebuah kewajiban yang saling berkaitan. Artinya selain wajib belajar juga harus menyampaikan. Atau dengan kata lain selain jadi mad’u juga harus menjadimurobbi.
“Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari]
Sungguh banyak sekali hikmah yang dapat diperoleh bagi seseorang yang menjadi seorang murobbi. Di antaranya adalah pahala yang berlipat ganda. Bagaimana tidak, amal jariyah atas ilmu yang bermanfaat yang murobbi sampaikan kepada para mad’unya (objek dakwahnya) tentu akan terus berguna dan disampaikan dari generasi ke generasi.Selain itu, menjadi murobbi sama halnya memotivasi diri untuk menjadi lebih baik. Pasalnya seorang murobbi akan terdorong untuk belajar lebih dalam terkait materi-materi Islam, memperkuat ibadahnya, dan akan meningkat kemampuan komunikasi dan manajemennya. Dengan kata lain, menjadi murobbi sama halnya membina diri sendiri.
Tak hanya di situ, masih banyak sekali hikmah yang akan didapatkan dengan menjadi seorangmurobbi. Seperti meningkatkan iman dan takwa, merasakan manisnya ukhuwah, banyak relasi, dan yang paling penting adalah melaksanakan kewajiban syar’i dan menjalankan sunnah Rosulullah SAW. Bahkan, tugas sebagai murobbi hanyalah menyampaikan secara optimal, tidak perlu memikirkan hasilnya lantaran itu sudah ditanggung oleh Allah SWT. Menarik, bukan?
Nah, beberapa paragraf diatas adalah keuntungan kita ketika menjadi murabbi. Sangat banyak. Namun ternyata akhi, rupanya semua itu belum cukup menggerakkan kesadaran sebagian kader untuk membina. Dan yang lebih aneh lagi, mereka tidak membina bukan karena tidak mengetahui keutamaan membina, apalagi tidak pantas dan kurang ilmu. Mereka adalah orang-orang yang tergolong sudah dan masih terbina hingga sekarang. Mereka adalah orang-orang telah merasakan manisnya tarbiyah Islamiyah! Lantas, apa jadinya jika ilmu hanya ditumpuk dan tidak disampaikan?
Ada al –akh bilang suatu ketika ditanya mengapa belum membina, jawabannya adalah “afwan, ane sibuk, sering keluar, sering ada delegasi keluar kota, dan sabagainya. Iya sih benar beliau sibuk, seorang tokoh siyasi, menlu, atau presma, tetapi bukankah kita akan selalu disibukkan dengan banyak agenda? Akhi, bukankah kader dakwah itu identik dengan kesibukan? Lalu mengapa hal tersebut masih sering kita jadikan alasan untuk tidak membina. Hmm. Kalau sudah begini, perlu memperbarui paradigma berfikir kita tentang urgensi membina. Inilah uniknya. Aktif berdakwahjama’i, tapi enggan membina. Padahal dalam sebuah amal jama’i tidak akan kuat manakala di dalam kaderisasinya tidak ada pembinaan yang “sehat”.
Memang sih, melihat fenomena kader jos, tapi belum membina, ada beberapa penyebab mengapa mereka belum membina hingga sekarang. Menurut yang mereka lontarkan, yang saya tahu, sedikit banyak berkutat pada kurangnya kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Ya, semua bersumber dari kemauan. Kemauan mereka yang kurang itulah yang membuat kemampuan dan kesempatan menjadi kurang. Padahal, jika semua hambatan-hambatan itu dilalui dengan keimanan dan ketakwaan, yang mana mengharap ridho-Nya, maka niscaya hambatan yang besar pun seolah kecil dan hambatan yang kecil pun tak ubahnya angin lalu yang tak berarti.
Nah, akhi, masihkah antum mempunyai keraguan untuk membina? Masihkah antum memiliki keengganan untuk mencetak kader – kader masa depan yang selevel dengan antum? Kalau masih, sepertinya memang kita harus dimakan ikan dulu, baru mau membina. Seperti kisah nabi Yunus, yang ditelan ikan Nun, karena tidak mau membina. Hehehe..
Akhi, dakwah kedepan semakin berkembang. Ladang amal semakin banyak, sehingga membutuhkan banyak orang untuk mengolahnya. Membutuhkan banyak sumber daya untuk menggarapnya. Kalau hari ini kita masih saja, dengan narrow mind kita, mimpi – mimpi besar tentang dakwah ini, tentang kampus madani akan semakin berat untuk tercapai. Mari kita singsingkan lengan baju kita, sambut wajah – wajah lugu, para mad’u kita, dengan kesemangatan, dengan kebesaran jiwa, dan sedikit meluangkan waktu kita untuk mereka, sambut mereka dengan gorengan panas dan segelas teh hangat, lalu buat lingkaran, dan persiapkan madarasah jiwa, untuk membangun peradaban. Ayo rek, semangat membina.
sumber tulisan : http://terpaksabikinwebsite.wordpress.com/?s=mengapa+enggan+membina%3F&submit=Cari

Rabu, 20 Juni 2012

Download Kajian Halal dan Haram Dalam Islam

Kajian Rutin Pagi Hari (KRPH) Masjid Mardliyyah UGM, semoga menambah khazanah ilmu kita...menjadi bekal amal-amal dakwah sehari-hari, klik di sini :-)

Download kajian tantangan dakwah

Untuk saudaraku yang sedang meniti jalan para Nabi, yang mempersembahkan jalan hidupnya untuk tegaknya Al-Islam. Semoga tausyiah dari Ust.Didik Purwodarsono pada Kajian Rutin Pagi Hari Masjid Mardliyyah UGM dapat menguatkan kembali komitmen kita.Klik di sini

Selasa, 19 Juni 2012

materi .ppt amal jama'i


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran 3:104)


Materi .ppt motivasi amal jama'i silahkan klik disini

Kecewa adalah Tanda Cinta


Oleh: Cahyadi Takariawan*

“Orang-orang partai politik itu mudah kecewa. Begitu keinginannya tidak terpenuhi, lalu keluar dari partainya dan membuat partai baru”, kata seorang teman kuliah di Lemhannas berapi-api. Aku hanya mengatakan, “Tergantung partainya, dan tergantung orangnya”. Dia terus saja mengomel tentang jeleknya orang-orang parpol, dan jawabanku pun tetap sama.

Ini soal perasaan kecewa. Sesungguhnyalah kecewa muncul karena adanya harapan yang tidak kesampaian. Ada harapan yang ditanam, dan ternyata tidak didapatkan dalam kenyataan. Inilah yang menyebabkan muncul kekecewaan. Jarak yang terbentang antara harapan dengan kenyataan itulah ukuran besarnya kekecewaan. Semakin lebar jarak yang terbentang, semakin besar pula kekecewaan. Oleh karena itu, kecewa itu ada di mana-mana, di lingkungan apa saja, di dunia mana saja, selalu ada kecewa.

Mari kita mulai dari yang paling kecil dan sederhana. Kadang kita kecewa dengan diri kita sendiri. “Mengapa saya tidak begini, mengapa saya tidak begitu”, adalah contoh kekecewaan yang kita alamatkan kepada keputusan kita sendiri yang telah terjadi. Kita menyesal di kemudian hari.

Dalam kehidupan rumah tangga yang isinya hanya dua orang saja, yaitu suami dan isteri, bisa muncul kekecewaan. Suami kecewa kepada isteri, dan isteri kecewa kepada suami. Hidup berdua saja bisa menimbulkan kecewa, apalagi kehidupan organisasi atau negara. Jika di dalam rumah tangga mulai ada anak-anak, kekecewaan bisa bertambah luas. Anak kecewa dengan sikap orang tuanya, dan orang tua kecewa dengan kelakuan anaknya. Satu anak dengan anak lainnya juga bisa saling kecewa mengecewakan.

Satu keluarga bisa kecewa atas perbuatan keluarga lainnya dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Satu desa bisa kecewa dengan desa lainnya dalam satu kecamatan. Indonesia sangat kecewa dengan sikap Amerika yang arogan, kecewa dengan sikap Israel yang merampas hak warga sipil Palestina secara semena-mena. Sebagaimana Amerika kecewa dengan Indonesia karena kurang akomodatif dengan kebijakan Amerika. Israel kecewa dengan Indonesia karena tidak mau membuka hubungan diplomatic dengan Israel.

Jamaah sebuah masjid bisa kecewa dengan sikap imam masjid, sebagaimana imam masjid bisa kecewa dengan kondisi jamaah. Masyarakat gereja bisa kecewa terhadap pendeta sebagaimana pendeta bisa kecewa terhadap keadaan jemaatnya. Suporter sepak bola sering kecewa terhadap tim yang dibelanya, sebagaimana pemain sepak bola sering kecewa kepada sikap para suporter.

TNI bisa kecewa terhadap kebijakan dan sikap Polri sebagaimana Polri bisa kecewa terhadap TNI. Angkatan Darat bisa kecewa terhadap Angkatan Laut dan Udara, sebagaimana Angkatan Laut bisa kecewa terhadap Angkatan Darat dan Udara, atau Angkatan Udara kecewa terhadap Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Di Angkatan Darat, seorang komandan bisa kecewa terhadap anak buahnya, sebagaimana anak buah bisa kecewa kepada komandannya.
Dalam gerakan dakwah, seorang kader bisa kecewa kepada pemimpin, sebagaimana pemimpin bisa kecewa atas sikap para kader. Seorang kader PKS menyampaikan pesan lewat SMS kepada saya, yang isinya mengatakan sangat kecewa dengan PKS dan akan keluar serta bergabung dengan sebuah gerakan dakwah tertentu, sebut saja gerakan G. Saya menjawab dengan dua kali jawaban. Pertama, bahwa hak masuk dan keluar dari PKS adalah di tangan anda sendiri, tak ada yang boleh memaksa. Kedua, kalau anda keluar dari PKS karena kecewa dan akan bergabung dengan gerakan dakwah G, maka ketahuilah bahwa gerakan G itu juga pernah mengecewakan anggotanya. Ada banyak orang kecewa dari gerakan G dan berpindah ke gerakan yang lainnya. Di setiap gerakan dakwah, selalu ada orang yang kecewa dan meninggalkan gerakan dakwah itu. Selalu.

Sepanjang sejarah kemanusiaan paska masa kenabian, tidak ada satupun organisasi yang tidak pernah mengecewakan anggotanya. Semua organisasi, semua gerakan, semua harakah pernah mengecewakan anggotanya. Selalu ada anggota organisasi atau anggota gerakan yang kecewa dan terluka. Selalu.

Ini bukan soal benar atau salahnya kondisi tersebut. Ini hanya potret sesungguhnya, begitulah kenyataan yang ada. Cobalah sebut satu saja contoh organisasi, ormas, gerakan dakwah, instansi, atau apapun. Pasti ada riwayat pernah ada anggota atau pengurus yang kecewa. Kalau tidak ada yang pernah dikecewakan, berarti organisasi tersebut belum pernah beraktiviktas nyata.

Bahkan organisasi yang dibuat dari kumpulan orang kecewa, pasti pernah mengecewakan anggotanya pula. Misalnya sekelompok orang kecewa dengan kebijakan organisasi A, lalu mereka menyingkir dan berkumpul. Mereka bersepakat, “Kita berkumpul di sini karena dikecewakan para pemimpin kita. Sekarang kita himpun potensi kita, dan kita berjanji untuk tidak saling mengcewakan lagi. Jangan ada yang dikecewakan disini”. Tatkala mereka sudah eksis sebagai organisasi, maka pasti ada yang kecewa di antara mereka.

Mereka tidak tahu, bahwa kecewa itu tanda cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin kecewa. Karena cinta, maka muncullah berbagai harapan kita. Setelah harapan tertanam, ternyata apa yang kita lihat dan kita alami tidak seperti yang diharapkan. Maka muncullah kecewa.

Mengapa beberapa orang parpol yang kecewa lalu membuat parpol baru lagi ? Karena boleh menurut Undang-undang. Coba kalau Undang-undang membolehkan membuat TNI baru, atau Polri baru, atau Mahkamah Agung baru, atau DPR baru, pasti sudah banyak orang membuat dari dulu. Banyak orang kecewa dengan TNI, banyak orang kecewa dengan Polri, banyak orang kecewa dengan Mahkamah Agung, banyak orang kecewa dengan DPR, banyak orang kecewa dengan Presiden dan Wakil Presiden, banyak orang kecewa dengan Menteri, banyak orang kecewa dengan Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, Ketua RW atau Ketua RT.

Jadi, kecewa itu ada dimana-mana, karena cinta ada dimana-mana, karena harapan ada dimana-mana. Namun muncul pertanyaan, pantaskah kita tidak berani memiliki harapan karena takut dikecewakan ? Jawabannya jelas, tidak pantas !

Karena harapan itulah yang membuat kita bersemangat, karena harapan itulah yang membuat kita bekerja, karena harapan itulah yang membuat kita selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, bahkan karena harapan itu pula yang membuat kita ada. Jangan takut memiliki harapan masuk surga. Jangan takut memiliki harapan Indonesia yang makmur dan sejahtera. Jangan takut memiliki harapan Indonesia menjadi negara paling adil dan paling maju di seluruh dunia.

So, teruslah memiliki dan memupuk harapan. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Jangan takut kecewa.

Pancoran Barat 30 Nopember 2010