Total Tayangan Halaman

Kamis, 07 Maret 2013

Sebuah Do'a dan Harapan, La Tahzan Akhi...Akan Indah Pada Waktunya ^^


Ya Allah…
Seandainya telah Engkau catatkan
dia akan mejadi teman menapaki hidupku
Satukanlah hatinya dengan hatiku
Titipkanlah kebahagiaan diantara kami
Agar kemesraan itu abadi.
Dan ya Allah… ya Tuhanku yang Maha Mengasihi
Seiringkanlah kami melayari hidup ini
Ke tepian yang sejahtera dan abadi
Tetapi ya Allah…
Seandainya telah Engkau takdirkan…
…Dia bukan milikku
Bawalah ia jauh dari pandanganku
Luputkanlah ia dari ingatanku
Ambillah kebahagiaan ketika dia ada disisiku
Dan peliharalah aku dari kekecewaan
Serta ya Allah ya Tuhanku yang Maha Mengerti…
Berikanlah daku kekuatan
Melontar bayangannya jauh ke dada langit
Hilang bersama senja nan merah
Agarku bisa berbahagia walaupun tanpa bersama dengannya
Dan ya Allah yang tercinta…
Gantikanlah yang telah hilang
Tumbuhkanlah kembali yang telah patah
Walaupun tidak sama dengan dirinya….
Ya Allah ya Tuhanku…
Pasrahkanlah aku dengan takdirMu
Sesungguhnya apa yang telah Engkau takdirkan
Adalah yang terbaik buatku
Karena Engkau Maha Mengetahui
Segala yang terbaik buat hambaMu ini
Ya Allah…
Cukuplah Engkau saja yang menjadi pemeliharaku
Di dunia dan di akhirat
Dengarlah rintihan dari hambaMu yang naif ini
Jangan Engkau biarkan aku sendirian
Di dunia ini maupun di akhirat
Menjuruskan daku ke arah kemaksiatan dan kemungkaran
Maka kurniakanlah aku seorang pasangan yang beriman
Supaya daku dan dia dapat membina kesejahteraan hidup
Ke jalan yang Engkau ridhai
Dan kurniakanlah padaku keturunan yang soleh….

Ketika Amanah Itu Datang



Sungguh halus cara Allah men-tarbiyah kita melalui suatu ungkapan sederhana yang tak asing di telinga kita. Kadang ia datang, lalu pergi, lalu kembali lagi dengan wujud yang berbeda, dengan bobot yang berbeda pula. Namun yakinlah, ia merupakan bentuk kasih sayang Allah bagi mereka yang tetap setia dan yakin akan janji-Nya. Dan sejujurnya kita membutuhkannya, butuh akan sarana pembuktian siapa yang paling benar imannya.

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." ( Al-Ankabut  : 2-3)”

Ya amanah, ada yang mengatakan dibalik kekuatan yang besar, maka lahir pula tanggung jawab yang besar. Ya kekuatan itu bisa diartikan macam-macam, tapi mungkin bisa dikatakan jika berkaitan dengan jiwa, maka itu berupa pemahaman. Semakin kita memahami sesuatu, maka lahir pula sikap yang sesuai pemahaman tersebut. Pemahaman tersebut terkadang mewujud dalam kedewasaan yang pada akhirnya datang menjadi amanah.
Ya amanah, karena amanah layaknya menjadi ujian yang membuktikan kedewasaan akan pemahaman yang terasakan. Bagi orang yang memahami sesuatu, ia akan bergerak sesuai dengan pemahamannya, ia tidak akan tinggal diam dan dalam pergerakannya terkadang tanpa disadari ia mendapatkan segenggam amanah akan pemahamannya tersebut.Amanah yang diberikan dari Allah  untuk bergerak berdasar pemahaman kedewasaan yang dimiliki.
Ya amanah, terkadang amanah akan datang sendiri kepada siapa yang memang layaknya sudah siap menerimanya. Amanah menjadi seorang pemimpin institusi, menjadi seorang suami/istri atau mungkin menjadi seorang ayah/ibu. Sungguh Allah memberikan amanah kepada kita karena memang Allah swt tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
Amanah, merupakan bentuk perhatian Allah kepada kita. Amanah bisa menjadi merupakan bentuk kesesuaian dengan kemampuan kita. Tidak peduli seberapa besar dan jauh kita menginginkan sesuatu dalam bentuk amanah, jika memang tidak sesuai dan belum saatnya maka Allah tidak akan memberi atau menangguhkan hingga saatnya tiba. Dan sesungguhnya dibalik segala sesuatu ada hikmah yang terbaik untuk kita.
Amanah akan datang ketika kesesuaian berbanding lurus dengan kemampuan kita, walau terkadang kita tidak menyadari kemampuan kita. Karena Allah tidak akan pernah memberi sesuatu diluar kemampuan hamba-Nya dan Allah akan menitipkan sesuatu ketika kita mampu mengangkatnya dipundak kita.
Semoga Allah menguatkan yang lemah dalam hati ini untuk menerima, menjaga dan menjalankan amanah apapun itu ketika datang, minimal amanah utama kita sebagai seorang abid. Dan semoga mampu mempertanggung jawabkannya ketika dihadapan-Nya kelak, amin.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Add caption

Senin, 25 Februari 2013

Dialog Murobbi Dengan Mutarobbi

“AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murabbinya di suatu malam.

Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’unya. “Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.


“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja…” jawab mad’u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

“Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?”, tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?”, sang murabbi mencoba memberi opsi.

“Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad’u.

Tak ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?” Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad’u. Ia hanya mengangguk.

“Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murabbi lagi.

Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup Bang, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan…”

“Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana”, sang mad’u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.”

“Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”

“Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar.

“Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.”

“Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!”

Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.

“Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

“Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!”, sahut sang murabbi.

“Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.”

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad’u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad’unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad’u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca…

Wallahu a’lam.

Sabtu, 23 Juni 2012

Download Materi Tarbiyah .chm

Kepada para murabbi' silahkan diunduh klik ini

Mengapa Enggan Membina?


Pagi – pagi, enaknya berbicara tentang lika – liku jalan ini. Yang menurut para Murobbi kharakteristiknya banyak tantangannya,
jalannya panjang, dan sebagainya. Dan itu memang benar adanya. Walaupun memang yang kami rasakan belum se dahsyat yang dirasakan oleh dakwahnya Nabi dan sahabat, atau dakwahnya para Muassis dakwah ini. Namun kami merasakan bahwa memang begitu berat, dan kalau sudah begini, tinggal dua pilihannya. Tetap membersamainya, atau keluar dari perahu ini. Dan Alhamdulillah, berkat do’a dari para saudara kami, keistiqomahan dalam jalan ini semoga senantiasa membersamai kami, sampai nanti, sampai mati.
Tulisan ini sebenarnya muncul, karena berawal dari kegelisahan para ‘sesepuh kampus’, dalam sebuah forum, yang menyimpulkan bahwa tidak adanya kerapian sistem pembinaan kampus, terutama ikhwan, sehingga memuncukan beberapa pertanyaan penting yang menjadi pokok bahasan pada artikel ini. Salah satunya adalah pewarisan generasi. Pewarisan generasi menjadi sangat penting, namun sepertinya itu menjadi momok bagi sebagian kader, terutama mereka, para tokoh2 kampus, angkatan 2007 kebawah, yang sampai saat ini belum memiliki kepedulian terhadap pembinaan. Membina. Meliqo’i.
Ketika membicarakan dakwah, pasti tak akan lepas dari aspek kaderisasi. Kaderisasi adalah jantungnya dakwah. Dan ketika saya searching di Google, ada artikel menarik tentang masalah para kader, dimanapun itu, yang masih mengesampingan aspek kaderisasi ini. Ya, kader yang masih enggan membina. Atau kader yang risih membina. Sepertinya itu menjadi masalah internal yang mendesak untuk segera diselesaikan. Tak terkecuali dengan di Kampus Konservasi ini. Materi – materi tentang pentingnya kaderisasi sudah sering disampaikan, baik dalam forum liqo, tatsqif, dauroh – dauroh, maupun workshop yang sering diadakan dikampus ini, tetapi follow up kita masih berjalan ditempat. Tersendat. Ada dauroh Murabbi, Workshop Murabbi, madrasah Murabbi, belum lagi ada Separator, dan masih banyak lagi wajihah yang seharusnya bisa kita optimalkan sebagai ladang kaderisasi kita. Tapi, why? Kenapa masih saja, ada yang masih ada kader yang belum membina? Apanya yang salah? Apakah belum dapat materi tentang urgensi membina? Atau apa? Apakah yang salah konsep pembinaannya, ataukah dari internal kader sendiri yang belum beres pola berfikirnya?
Ada beberapa paragraf tulisan yang saya kutip dari blog teman di jogja, tentang pentingnya membina, setidaknya mengingatkan kita tentang materi ini. Bahwa sesungguhnya, membina atau menjadi murobbi dalam sebuah halaqoh (kelompok pengajian), merupakan metode dakwah fardiyahyang sangat konkret dalam pembentukan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islami) pada masyarakat. Dengan begitu langkah Islam. Inilah konsep tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam), yang mana untuk menuju daulah islamiyah (negara Islam) diperlukan capaian masyarakat Islami, keluarga Islami, dan pribadi yang Islami. Akan tetapi rantai tarbiyah ini akan terputus manakala tidak ada upaya berkesinambungan dalam pembinaan. Boleh jadi pribadi yang Islami telah tercapai, namun jika pribadi ini tidak “menularkan” ilmu atau kepemahamannya kepada yang lain, maka rasanya sulit mewujudkan cita-cita jayanya Islam di Bumi ini.
Mengingat begitu pentingnya peran murobbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita mempersiapkan diri untuk membina, menjadi murobbi. Dalam lingkup pribadi, menjadi mad’u dan murobbi adalah sebuah kewajiban yang saling berkaitan. Artinya selain wajib belajar juga harus menyampaikan. Atau dengan kata lain selain jadi mad’u juga harus menjadimurobbi.
“Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari]
Sungguh banyak sekali hikmah yang dapat diperoleh bagi seseorang yang menjadi seorang murobbi. Di antaranya adalah pahala yang berlipat ganda. Bagaimana tidak, amal jariyah atas ilmu yang bermanfaat yang murobbi sampaikan kepada para mad’unya (objek dakwahnya) tentu akan terus berguna dan disampaikan dari generasi ke generasi.Selain itu, menjadi murobbi sama halnya memotivasi diri untuk menjadi lebih baik. Pasalnya seorang murobbi akan terdorong untuk belajar lebih dalam terkait materi-materi Islam, memperkuat ibadahnya, dan akan meningkat kemampuan komunikasi dan manajemennya. Dengan kata lain, menjadi murobbi sama halnya membina diri sendiri.
Tak hanya di situ, masih banyak sekali hikmah yang akan didapatkan dengan menjadi seorangmurobbi. Seperti meningkatkan iman dan takwa, merasakan manisnya ukhuwah, banyak relasi, dan yang paling penting adalah melaksanakan kewajiban syar’i dan menjalankan sunnah Rosulullah SAW. Bahkan, tugas sebagai murobbi hanyalah menyampaikan secara optimal, tidak perlu memikirkan hasilnya lantaran itu sudah ditanggung oleh Allah SWT. Menarik, bukan?
Nah, beberapa paragraf diatas adalah keuntungan kita ketika menjadi murabbi. Sangat banyak. Namun ternyata akhi, rupanya semua itu belum cukup menggerakkan kesadaran sebagian kader untuk membina. Dan yang lebih aneh lagi, mereka tidak membina bukan karena tidak mengetahui keutamaan membina, apalagi tidak pantas dan kurang ilmu. Mereka adalah orang-orang yang tergolong sudah dan masih terbina hingga sekarang. Mereka adalah orang-orang telah merasakan manisnya tarbiyah Islamiyah! Lantas, apa jadinya jika ilmu hanya ditumpuk dan tidak disampaikan?
Ada al –akh bilang suatu ketika ditanya mengapa belum membina, jawabannya adalah “afwan, ane sibuk, sering keluar, sering ada delegasi keluar kota, dan sabagainya. Iya sih benar beliau sibuk, seorang tokoh siyasi, menlu, atau presma, tetapi bukankah kita akan selalu disibukkan dengan banyak agenda? Akhi, bukankah kader dakwah itu identik dengan kesibukan? Lalu mengapa hal tersebut masih sering kita jadikan alasan untuk tidak membina. Hmm. Kalau sudah begini, perlu memperbarui paradigma berfikir kita tentang urgensi membina. Inilah uniknya. Aktif berdakwahjama’i, tapi enggan membina. Padahal dalam sebuah amal jama’i tidak akan kuat manakala di dalam kaderisasinya tidak ada pembinaan yang “sehat”.
Memang sih, melihat fenomena kader jos, tapi belum membina, ada beberapa penyebab mengapa mereka belum membina hingga sekarang. Menurut yang mereka lontarkan, yang saya tahu, sedikit banyak berkutat pada kurangnya kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Ya, semua bersumber dari kemauan. Kemauan mereka yang kurang itulah yang membuat kemampuan dan kesempatan menjadi kurang. Padahal, jika semua hambatan-hambatan itu dilalui dengan keimanan dan ketakwaan, yang mana mengharap ridho-Nya, maka niscaya hambatan yang besar pun seolah kecil dan hambatan yang kecil pun tak ubahnya angin lalu yang tak berarti.
Nah, akhi, masihkah antum mempunyai keraguan untuk membina? Masihkah antum memiliki keengganan untuk mencetak kader – kader masa depan yang selevel dengan antum? Kalau masih, sepertinya memang kita harus dimakan ikan dulu, baru mau membina. Seperti kisah nabi Yunus, yang ditelan ikan Nun, karena tidak mau membina. Hehehe..
Akhi, dakwah kedepan semakin berkembang. Ladang amal semakin banyak, sehingga membutuhkan banyak orang untuk mengolahnya. Membutuhkan banyak sumber daya untuk menggarapnya. Kalau hari ini kita masih saja, dengan narrow mind kita, mimpi – mimpi besar tentang dakwah ini, tentang kampus madani akan semakin berat untuk tercapai. Mari kita singsingkan lengan baju kita, sambut wajah – wajah lugu, para mad’u kita, dengan kesemangatan, dengan kebesaran jiwa, dan sedikit meluangkan waktu kita untuk mereka, sambut mereka dengan gorengan panas dan segelas teh hangat, lalu buat lingkaran, dan persiapkan madarasah jiwa, untuk membangun peradaban. Ayo rek, semangat membina.
sumber tulisan : http://terpaksabikinwebsite.wordpress.com/?s=mengapa+enggan+membina%3F&submit=Cari

Rabu, 20 Juni 2012

Download Kajian Halal dan Haram Dalam Islam

Kajian Rutin Pagi Hari (KRPH) Masjid Mardliyyah UGM, semoga menambah khazanah ilmu kita...menjadi bekal amal-amal dakwah sehari-hari, klik di sini :-)

Download kajian tantangan dakwah

Untuk saudaraku yang sedang meniti jalan para Nabi, yang mempersembahkan jalan hidupnya untuk tegaknya Al-Islam. Semoga tausyiah dari Ust.Didik Purwodarsono pada Kajian Rutin Pagi Hari Masjid Mardliyyah UGM dapat menguatkan kembali komitmen kita.Klik di sini